http://id.answers.yahoo.com/question/index;_ylt=AlKOYpj.QK7RgUANzz_eVU6hRAx.;_ylv=3?qid=20100817210221AAY95AJ&show=7#profile-info-p4OwqtWnaa
“
Sesungguhnya telah kalian dapati orang-orang yang paling besar permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik …” (Al-Maidah [5]: 82).
Yang pasti, semua media memihak. Ada yang memihak pada partai tertentu, agama tertentu, kelompok tertentu, pengusaha tertentu, pejabat tertentu, atau setidaknya memihak pada selera pasar.
Pemihakan itu ada yang terlihat “kasar” ada juga yang halus. Pemihakan itu bisa kita lihat pada cara wartawan mengemas berita, pemilihan sudut pandang berita, ketimpangan porsi pemberitaan, pemilihan narasumber yang dimintai penjelasannya, atau posisi di mana sebuah berita itu ditempatkan.
Analogi “kebohongan” dan “pemihakan” pada cerita di atas adalah seperti ini. Andai tim sepak bola Persebaya, Surabaya, menang 1-0 atas Persija, Jakarta, dalam sebuah liga, tak mungkin wartawan yang berdomisili di Jakarta memberitakan sebaliknya: Persebaya Dipecundangi Persija, hanya karena mereka bersimpati kepada Persija. Yang mereka lakukan adalah menyajikan cerita kekalahan tersebut dari sudut pandang berbeda dengan tujuan agar pembaca bisa memaklumi kekalahan itu.
Fenomena pemihakan ini memunculkan apa yang disebut perang opini. Dan, perang opini paling dahsyat yang sekarang tengah berlangsung adalah perang antara Islam dan musuh-musuhnya. Perang ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi mendunia.
Kita tentu ingin menang dalam perang opini ini. Caranya, tidak dengan mengeluh. Mengeluh sama artinya dengan memohon agar musuh ingin memihak kepada kita. Itu jelas mustahil.
Yang harus kita lakukan sekarang adalah memperbanyak jumlah mujahid qalami, jurnalis Muslim yang memiliki visi islami, serta media Islam
pelanggaran:
game poin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar